Pemanasan global
Pemanasan
global atau Global Warming
adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut,
dan daratan Bumi.
Suhu
rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa,
"sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad
ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas
manusia",melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah
dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua
akademi sains nasional dari negara-negara G8.
Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa
kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.
Model
iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global
akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun
1990 dan 2100. Perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan
skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa mendatang,
serta model-model sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar
penelitian terfokus pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air
laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun
tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil.Ini mencerminkan besarnya kapasitas
panas dari lautan.
Meningkatnya
suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti
naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang
ekstrem,serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang
lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya
berbagai jenis hewan.
Beberapa
hal-hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah mengenai jumlah pemanasan yang
diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana pemanasan serta
perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke
daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik
di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi
atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap
konsekuensi-konsekuensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di
dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan
emisi gas-gas rumah kaca
Pemanasan global di
Indonesia
Negara Indonesia merupakan negara
kepulauan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Tentu mudah ditebak akan
banyak pulau-pulau kecil yang akan hilang dan tenggelam serta pulau besarnya
akan kehilangan kota
pesisir dan secara keseluruhan luas daratan akan mengecil. Jika tidak ada tekad
dan tindakan aktif dari pemerintah beserta seluruh komponen masyarakat untuk
menurunkan atau mereduksi emisi Gas Rumah Kaca, maka
pada tahun 2030, kita akan kehilangan sekitar 2000 pulau kecil.
Akibat selanjutnya adalah penduduk
harus pindah atau mengungsi, bencana alam akan semakin sering
terjadi seperti: kekeringan yang akan semakin parah mengakibatkan musibah gagal
panen dan kebakaran, curah hujan semakin ekstrim menyebabkan musibah banjir dan
longsor, petani/nelayan akan kehilangan mata pencaharian karena perubahan iklim
semakin sulit diprediksi, produk makanan semakin langka mengakibatkan terjadi
bencana kelaparan, wabah penyakit akan semakin beragam dan meluas.
Di Indonesia tanda-tanda perubahan iklim
akibat pemanasan global telah lama terlihat. Misalnya, sudah beberapa kali ini
kita mengalami musim kemarau yang panjang. Tahun 1982-1983, 1987 dan 1991,
kemarau panjang menyebabkan kebakaran hutan yang luas. Hampir 3,6 juta hektar
hutan habis di Kalimatan Timur akibat kebakaran tahun 1983. Musim kemarau tahun
1991 juga menyebabkan 40.000 hektar sawah dipusokan dan produksi gabah nasional
menurun drastis dari 46,451 juta ton menjadi 44,127 juta ton pada tahun 1990.
Pada tahun
2006, akibat pemanasan global terlihat dengan terlambatnnya musim penghujan
yang seharusnya sudah turun pada Oktober 2006. Namun hingga Desember 2006 hujan
belum juga turun. Keterlambatan itu juga disertai dengan pendeknya periode
hujan, namun intensitasnya tinggi. Akibatnya banjir melanda Jakarta dan sekitarnya.
Pemanasan
Global juga mengakibatkan siklus perkawinan dan pertumbuhan nyamuk (dari telur
menjadi larva dan nyamuk dewasa) akan lebih singkat, sehingga jumlah populasi
akan cepat naik. Mengganasnya penyakit yang disebabkan oleh nyamuk kemudian seolah
menyebabkan jenis penyakit baru.
Penyebab pemanasan global
Efek rumah kaca
Segala
sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut
berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba permukaan
Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan
Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian
dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar.
Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya
jumlah gas rumah kaca
antara lain uap air, karbon dioksida, sulfur
dioksida dan metana yang menjadi perangkap
gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi
gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di
permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu
rata-rata tahunan bumi terus meningkat.
Gas-gas
tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya
konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di
bawahnya.
Efek
rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi,
karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan suhu rata-rata
sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C
(59 °F) dari suhunya semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi
hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi
sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan
mengakibatkan pemanasan global.
Efek umpan
balik
Segala
sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut
berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba permukaan
Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan
Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian
dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar.
Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya
jumlah gas rumah kaca
antara lain uap air, karbon dioksida, sulfur
dioksida dan metana yang menjadi perangkap
gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi
gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di
permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu
rata-rata tahunan bumi terus meningkat.
Gas-gas
tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya
konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di
bawahnya.
Efek
rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi,
karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan suhu rata-rata
sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C
(59 °F) dari suhunya semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi
hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi
sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan
mengakibatkan pemanasan global.
Variasi
matahari
Terdapat
hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari, dengan kemungkinan
diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan
saat ini.Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca
adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan
mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah
diamati sejak tahun 1960,yang tidak akan terjadi bila aktivitas Matahari
menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek
pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun
1970-an.) Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung
berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga
tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.
Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi
Matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke
University memperkirakan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi
terhadap 45-50% peningkatan suhu rata-rata global selama periode 1900-2000, dan
sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000.Stott dan rekannya mengemukakan bahwa
model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat perkiraan berlebihan
terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh Matahari; mereka
juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat
juga telah dipandang remeh.Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan
dengan meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun,
sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini
disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.
Pada
tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa mereka
tidak menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari Matahari
pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi peningkatan kecil
sekitar 0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun terakhir.
Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan global.Sebuah
penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara
pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi
dari output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis.
Dampak pemanasan global
Para ilmuan
menggunakan model komputer dari suhu, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer
untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuan
telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca,
tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia.
Iklim mulai
tidak stabil
Para ilmuan
memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan
Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah
lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan
mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut.
Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan
mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi
salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan
lebih panjang di beberapa area. Suhu pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk
meningkat.
Daerah
hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari
lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau
menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan
meningkatkan efek insulasi pada atmosfer.
Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih
banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, dimana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan
meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap
derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat
sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini). Badai
akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah.
Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan
bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane)
yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar.
Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin
mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrem
Peningkatan
permukaan laut
Ketika
atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga
volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga
akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di
laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 – 25 cm (4 - 10
inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih
lanjut 9 – 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21.
Perubahan
tinggi muka laut akan sangat memengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan
100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi
dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan
mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan.
Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi
daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan
evakuasi dari daerah pantai.
Bahkan
sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat memengaruhi ekosistem pantai.
Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa
pantai di Amerika Serikat.
Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah
yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida
Everglades.
Suhu global
cenderung meningkat
Orang
mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak
makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa
tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh,
mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih
lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di
beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah
pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat
menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi
sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam.
Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang
lebih hebat.
Gangguan
ekologis
Hewan
dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan
ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global,
hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan.
Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan
tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies
yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau
lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu
secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.
Dampak social
politik
Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang
berhubungan dengan panas (heat
stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan
gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan
permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan
penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan
kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai
dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare,
malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis,
penyakit kulit, dan lain-lain.
Pergeseran ekosistem
dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (Waterborne
diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases). Seperti meningkatnya kejadian
Demam
Berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang
biak. Dengan adamya perubahan iklim ini maka ada beberapa spesies vektor
penyakit (eq Aedes Agipty), Virus, bakteri, plasmodium menjadi lebih resisten
terhadap obat tertentu yang target nya adala organisme tersebut. Selain itu
bisa diprediksi kan
bahwa ada beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi ataupun punah
dikarenakan perbuhan ekosistem yang ekstreem ini. hal ini juga akan berdampak
perubahan iklim (Climate change)yang bisa berdampak kepada peningkatan kasus
penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau panjang / kebakaran hutan, DBD Kaitan dengan
musim hujan tidak menentu)
Gradasi
Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga
berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula
dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol
selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran pernafasan
seperti asma, alergi, coccidiodomycosis,
penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain.
Pengendalian pemanasan
global
Konsumsi
total bahan bakar fosil
di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Langkah-langkah yang dilakukan
atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan
global di masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang
timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim
di masa depan.
Kerusakan
yang parah dapat di atasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat dilindungi
dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara lainnya,
pemerintah dapat membantu populasi di pantai untuk pindah ke daerah yang lebih
tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan
dan hewan dengan tetap menjaga koridor (jalur) habitatnya, mengosongkan tanah
yang belum dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies dapat secara
perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat yang
lebih dingin.
Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya
gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan
menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini
disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi
produksi gas rumah kaca.
Menghilangkan
karbon
Cara
yang paling mudah untuk menghilangkan karbon dioksida di udara adalah dengan
memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi.
Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbon dioksida
yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam
kayunya.
Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan
telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh
kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk
kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah
tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang
berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca.
Gas
karbon dioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan
menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk
mendorong agar minyak bumi keluar ke permukaan .Injeksi juga bisa dilakukan
untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan
batubara atau aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan
pengeboran lepas pantai Norwegia, dimana karbon dioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer
sehingga tidak dapat kembali ke permukaan.
Salah
satu sumber penyumbang karbon dioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil.
Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi industri
pada abad ke-18. Pada saat itu, batubara menjadi sumber
energi dominan untuk kemudian digantikan oleh minyak bumi pada pertengahan abad ke-19. Pada
abad ke-20, energi gas mulai biasa digunakan di dunia sebagai sumber energi.
Perubahan tren penggunaan bahan bakar fosil ini sebenarnya secara tidak
langsung telah mengurangi jumlah karbon dioksida yang dilepas ke udara, karena
gas melepaskan karbon dioksida lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak
apalagi bila dibandingkan dengan batubara. Walaupun demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan karbon
dioksida ke udara. Energi nuklir, walaupun kontroversial karena alasan
keselamatan dan limbahnya yang berbahaya, tetapi tidak melepas karbon dioksida
sama sekali.
Mengurangi efek rumah kaca
Satu sisi, Efek
Rumah kaca dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan alam. Namun, Efek Rumah Kaca
yang berlebihan akibat aktifitas manusia akan berubah menjadi ancaman untuk
kehidupan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, ketika manusia menyadari bahwa
aktifitasnya telah mengakibatkan Efek Rumah Kaca yang berlebih, maka diperlukan
usaha yang sungguh-sungguh untuk menguranginya sehingga mencapai
keseimbangannya kembali.
Dunia masih
mempunyai kesempatan realistis hingga 2010 guna menghindari sebagian dari
bencana meluas akibat pemanasan global (global warming). Demikian disampaikan
dua peneliti lingkungan dari Universitas Princeton
dan Universitas Brown, Michael Oppenheimer dan Brian O'Neill, di AS dalam suatu
kajian yang dimuat Journal Science.
Sebuah laporan
yang dikeluarkan di Cina pada tahun yang sama menyatakan ramalan, suhu global
Bumi bisa meningkat sampai 5,8 derajat Celcius sedikitnya pada akhir abad ini.
Pernyataan ini diperkuat pula oleh laporan lain dari NASA Goddard Institute for
Space Studies yang mengatakan, ambang CO2 meningkat dari angka satuan 280 ppmv
(/parts per million by volume/) pada tahun 1850 menjadi 360 ppmv pada tahun
2001. Padahal, dalam kajian yang lain dikatakan, ambang CO2 di atmosfer harus
dicegah untuk tidak melebihi ambang 450 ppmv.
Para ilmuwan mempelajari cara-cara untuk membatasi
pemanasan global. Kunci utamanya adalah:
1.membatasi emisi CO2
Tehnik yang efektif untuk membatasi emisi karbon ada dua yakni mengganti
energi minyak dengan sumber energi lainnya yang tidak mengemisikan karbon dan
yang kedua penggunaan energi minyak sehemat mungkin.
2.Menyembunyikan karbon yang juga
membantu mencegah karbon dioksida memasuki atmosfer atau mengambil CO2 yang
ada.
Menyembunyikan
karbon dapt dilakukan dengan dua cara:
1. Di bawah tanah atau penyimpanan air tanah
Bawah tanah atau air bawah tanah bisa digunakan untuk menyuntikkan emisi
CO2 ke dalam lapisan bumi atau ke dalam lautan. Lapisan bumi yang dapat
digunakan adalah penyimpanan alami minyak dan gas bumi di tambang-tambang
minyak. Dengan memompakan CO2 kedalam tempat-tempat penyimpanan minyak di perut
bumi akan membantu mempermudah pengambilan minyak atau gas yang masih tersisa.
Hal ini bisa menutupi biaya penyembunyian karbon. Lapisan garam dan batubara
yang dalam juga bias menyembunyikan karbon dioksida.
2. Penyimpanan di dalam tumbuhan hidup.
Tumbuhan hijau menyerap CO2 dari udara untuk tumbuh. Kombinasi karbon
dari CO2 dengan hidrogen diperlukan untuk membentuk gula sederhana yang
disimpan di dalam jaringan. Mengingat pentingnya tumbuhan dalam menyerap CO2 ,
maka perlunya memelihara pepohonan dan menanam pohon baru lebih banyak lagi
0 komentar:
Posting Komentar